Selasa, 31 Juli 2007

anggota DPR anti restoran

Ada berita mengejutkan yang diungkap Gus Dur kepada umat saat ia berpidato pada September ini. Saat itu sedang marak berita perseteruan antara Komisi Anggaran DPR dengan Indira Soegondo. Juga kasus gugatan anggota DPR dari PAN, AM Fatwa kepada anggota PDIP, Permadi.

Di setiap tempat, Gus Dur selalu mngungkapkan bahwa anggota DPR sekarang sudah berubah gaya hidup.

"Kebanyakan anggota DPR sekarang sudah tidak mau lagi makan di restoran !" ungkap Gus Dur.

Pernyataan ini membuat umat bertanya-tanya, dalam hati mungkin rakyat yang mendengar info itu akan berkata " Allhamdullillah wakil rakyat kita sudah insyaf, dengan merubah gaya hidup bermewah-mewah."

"Mengapa mereka nggak mau makan di restoran?" tambah Gus Dur.

"Karena kalau makan di restoran harus makan sendiri, nyuap sendiri. Sementara anggota DPR kita sudah biasa "DISUAP"," kata Gus Dur.

"Oooh....ternyata kita salah sangka," kata salah satu hadirin.

kakek tua gila

Konon ada sebuah cerita tiongkok (china) hiduplah seorang kakek tua yang menggali gunung. setiap ada orang yang lewat pasti bertanya "kakek sedang apa?" kakek itu selalu menjawab hendak memindahkan gunung. orang-orang itu mentertawakannya bahwa kakek tua itu gila, bagaimana mungkin dia hendak memindahkan gunung, umurnya saja sudah tua.. kakek tua mengatakan kalo pekerjaan ini tidak selesai maka akan diteruskan anaknya, anaknya nggak selesai akan diteruskan cucunya, cucunya nggak selesai akan diteruskan oleh generasi berikutnya..sampai gunung itu pindah. membangun peradaban dinegeri ini tak ubahnya bagai hendak memindahkan gunung, yang tak cukup satu generasi namun bisa sampai tiga generasi bahkan lebih.

Tentunya bukan sebagai kakek tua secara biologis namun kakek tua dalam semangat dan motivasi. tentunya ini hanya mungkin dilakukan anak muda yang bukan hanya dibutuhkan keberanian untuk memulai namun juga kesabaran dan stamina yang cukup untuk sebuah pekerjaan yang tidak mungkin hanya dirinya saja yang sanggup menyelesaikan namun juga kemampuan untuk menularkan semangatnya dan kesempatan bagi generasi berikutnya untuk ambil peran memindahkan gunung. pandangannya jauh kedepan, mampu memulai pekerjaan dari yang kecil, hari ini dan disini. dan pertanyaan yang paling mendasar adalah siapa yang hendak memulai semua ini? Siapa yang hendak mau disebut kakek tua gila?

takziyah paus

Karena sejak beberapa hari sebelum Paus meninggal Kiai Kanjeng berada di roma (Vatikan terletak di dalam kota Roma), Cak Nun diserbu berbagai pertanyaan yang aneh-aneh bahkan naif dan absurd, juga gugatan. Berikut ini beberapa tanya jawab, baik melalui wawancara jarak jauh, telepon maupun SMS.

“Kan Cak Nun termasuk tokoh Islam, kenapa berada di Vatikan pusatnya Katholik?”. Cak Nun menjawab: “Dulu Nabi Muhammad adalah muslim sendirian di tengah masyarakat yang seluruhnya kafir. Sedangkan umat Katholik adalah manusia ber-Tuhan, bukan kafir”.

SMS dari seorang Kiai berbunyi: “Takziah ke Paus nih yee...”. Dijawab: “Saya sedang menghormati makhluk bikinan Allah. Kalau makhluk-Nya tak saya hormati nanti Penciptanya tersinggung”.

“Bagaimana hukumnya berada di tengah-tengah kerumunan massa layatan Paus?”. Dijawab – “Kan di kampung siapa saja yang meninggal kita biasanya melayat juga. Bahkan jika seekor anjing mati, kita menghormatinya juga”.

Kok sampai Kiai Kanjeng menciptakan aransemen musik untuk suasana kematian Paus, bahkan Cak Nun membikin puisi khusus?”. Cak Nun menjawab: “Batu di dasar sungai saja bisa mengilhami lahirnya lagu. Di Dalam Al Quran Tuhan menyuruh ta’arruf atau saling kenal dan apresiasi di antara manusia. Perintahnya diawali dengan Ya ayyuhannas, wahai manusia, bukan hanya Ya ayyuhalladzina amanu atau wahai orang beriman...”

Dikutip dari buku “Kafir Liberal” karya Emha Ainun Nadjib

sekolah itu aneh

Ada sesuatu yang mengganjal tentang keberadaan sekolah.

Banyak yang kita dapatkan di sekolah, dan kita harus selalu hormat kepada guru. tapi tampaknya ada yang salah dalam sistem pendidikan kita. begitu gencar guru menakut-nakuti murid tentang perkembangan zaman dan pasar bebas. "Cuma yang mengerti teknologilah yang akan bisa bertahan,"kata mereka.

Tapi sepertinya ada ironi. Di satu sisi kita harus berkenalan dengan teknologi, di sisi lain begitu repotnya guru melarang murid nyontek. masalahnya bukan kita suka nyontek atau tidak. Nilai di kertas ujian tidak mengungkapkan kejujuran intelektualitas murid. Mungkin saja murid itu sedang punya masalah di rumah, dengan pacar, atau dia tak bisa menghafal sebab sakit.

Menurutku, bagi orang yang bisa mengerti perkembangan zaman dan bisa arif menyikapinya, nyontek itu keharusan. Tolol sekali jika kita tak memanfaatkan perpustakaan, memubazirkan kamus, tak tahu manfaat ensiklopedia dan buku-buku. apalagi sekarang dunia komputer sudah merajalela.

Atau, pelarangan nyontek itu hanya semata-mata untuk mengukuhkan status guru dan sekolah sebagai satu-satunya sumber?

Tapi bagaimana dengan penilaian?

Nilai ujian memang berguna, sekurang-kurangnya untuk satu kertas yang sekarang hampir tak berarti, ijasah. Selama hidup kita dilihat dari kertas, Undang-undang diukir di kertas, hukum disimpan pada kertas, pendidikan diukur dari kertas, dan mudah untuk diganti dengan kertas pula, uang!

Ada jarak yang sangat jauh antara sekolah dan kenyataan. Dalam kehidupan sehari-hari, yang tak bisa dicontek bukanlah rumus atau informasi yang kini disebarkan ke segala penjuru dengan kcepatan ayng mengagetkan. Yang tak bisa dicontek itu ialah kearifan. Karena, pengetahuan dan terutama kearifan pada akhirnya berbeda.


Jadi, masih pentingkah kita bersekolah?